July 29, 2012

Komersialitas Pendakwah

Baru saja lihat berita mengenai Ustad yang komersil. Di Ramadhan begini, ustad-ustad laris-manis. Kasih kultum sana-sini untuk acara buka puasa bersama, tarawih, atau shalat Subuh. Bukan hanya ustad yang kondang saja, tapi juga ustad yang baru merintis karier dari masjid ke masjid. Sayangnya, hal ini menjadi fenomena yang miris: komersialisasi dakwah. Tingginya permintaan bagi mereka untuk berdakwah (memberikan kultum) menyebabkan mereka 'menaikkan tarif'. Sesuai dengan prinsip ekonomi, tingginya permintaan dibarengi dengan tingginya harga, maka sepertinya begitu yang sedang terjadi. Namun secara moral, fenomena ini sangat mengkhawatirkan. Ya apalagi kalau bukan karena dilihat dari sisi norma. Seluruh agama sepertinya sepakat bahwa kultum, doa, pemberian wejangan, dan semacamnya, merupakan salah sau cara dakwah agamanya. Tentu yang berdakwah adalah penganut suatu agama untuk mengajak umat kepada kebaikan agama tersebut. Isi dakwah pun berbicara mengenai ajakan kepada kebajikan, syariah agama, dan segala hal yang diatur dalam agama. Untuk menjamin tersampainya ajaran-ajaran luhur, cara penyampaian hingga personalitas penyampainya pun juga harus luhur. Nggak heran bahwa tidak ada agama yang memaksa umatnya untuk berdakwah. Karena dakwah memang harus lahir dari hati.
Bagaimana dengan komersialitas pendakwah? Keluhuran pendakwah menjadi pertanyaan jika para ustad - pendakwah di Islam, meminta bayaran. Di sini, meminta. Artinya, dari awal si ustad sudah mematok tarif akan jasanya berdakwah mneyebarkan kebajikan. Ada seorang ustad kondang yang sudah sering tampil di televisi, mematok harga jasanya hingga Rp 10juta per sekali tampil. Bayangkan, hanya untuk berdakwah saja yang tidak sampai 1 jam, ustad itu dihargai setinggi itu. Bisa saja si ustad membela diri dengan mengatakan hal senada dengan yang dikatakan para profesor-profesor ekonomi. Tapi marilah bicarakan kewajaran. Seorang ustad, lagi-lagi merupakan pendakwah, yang untuk mneyebarkan dakwah tidak ada paksaan apapun baginya. Seorang ustad seharusnya mencontohkan hal yang baik kepada umat seagama agar dakwahnya sampai. Seorang ustad, seharusnya memiliki tujuan yang bernar-benar mulia untuk berdakwah, yaitu untuk menyebarkan ajaran Tuhan. Nah, kembali lagi ke tujuan. Jika seorang ustad memang bertujuan mendapatkan harta halal dari berdakwah, maka seirang suatd hendaknya rendah hati dengan tidak meminta bayaran. Konsekuensinya, dia harus bersiap akan hidupnya yang sederhana karena harta yang akan dia terima tidak tentu - akan dikasih atau tidak, atau kalaupun dikasih, hanya seadanya. Bicara halal, menurut saya hal itu akan lebih halal dibanding si ustad meminta bayaran. Yang kedua ini dikatakan tidak lebih halal (tidak tentu haram juga, atau makruh) karena ia memiliki tujuan lain: mengisi perut sekenyang mungkin. Sinis? Ya iya, mana ada orang yangbdengan tega mematok tarif sebelum tahu kepada siapa ia tarif itu berlaku. Bagaimana tujuan dakwah itu dapat luhur jika pendakwahnya memiliki tujuan yang tidak luhur? Jika dakwah menjadi ladang penghasilan yang dikomersialisasi, bisa jadi keluhuran dajwah lambat laun akan hilang. Tujuan dakwah yang semula berorientasi akhirat kini menjadi orientasi dunia. Dakwah ditunggangi kepentingan mencari harta. Harta yang banyak cenderung menimbulkan perilaku tidak sederhana, padahal agama mengajarkan demikian. Perilaku ini menjadi karakter sehingga karakter para pendakwah tidak lagi qanaah seperti yang diajarkan Nabi Besar. Agar menjaga sikapnya di kehidupan sehari-hari yang tidak bertentangan dengan apa yang akan didakwahkan, maka isi dakwah pun sesuai dengan apa yang dilakukan pendakwah. Akibatnya, isi dakwah akan jauh dari perilaku sederhana. Atau isi dakwah bisa jadi adalah tema-tema yang menarik di masyarakat. Padahal, masih sangat banyak tema yang penting dari sudut agama namun jarang didakwahkan karena pendkawahnya lebih memilih tema lain yang lebih menarik. Kilah para pendakwah bisa jadi karena mereka memikirkan isi perutnya dan keluarganya. Dapur harus tetap mengebul. Pendakwah pun punya waktu yang terbuang dan pikiran yang dibagi. Itu adalah investasi yang diganti dengan harga. Maka wajar bila pendakwah meminta bayaran atas jasanya. Namun sebenarnya, yang menjadi masalah adalah permintaan pendakwah untuk dibayar serta tingginya harga bayaran itu. Jangan samakan jasa berdakwah dengan jasa lainnya di dunua ini karena tujuannya pun berbeda. Jika jasa lainnya, seperti jasa MC berorientasi pada dunia, maka dakwah merupakan satu-satunya jasa yang berorientasi pada akhirat. Maka, imbalannya pun akhirat. Biarlah Tuhan yang membayar jasa itu dengan pahala dan kasih sayang-Nya. Karena berbeda dengan jasa lainnya, peraturannya pun berbeda. Pendakwah sebagai penjual tidak memiliki hak apapun untuk meminta balasan atas jasanya, namun pembeli yaitu masyarakat yang meminta pendakwah untuk datang hendaknya memberikan sesuatu sebagai imbalan atas pemenuhan permintaan itu kepada pendakwah. Sederhananya, kedua belah pihak harus saling mengerti dan memahami bahwa keduanya memiliki hak. Si Masyarakat meminta Pendakwah untuk datang. Di situasi ini, pendakwah memiliki hak untuk menolak. Tapi ia tidak menggunakan haknya, ia memenuhi permintaan si Masyarakat. Sebagai timbal balik atas pemenuhan permintaan itu, Pendakwah memiliki hak untuk mendapatkan sesuatu dari si Masyarakat sebagai timbal balik. Si Masyarakat juga harus sadar diri. Seyogyanya,msi Masyarakat memberikan sesuatu yang setimpal (untuk mengurangi suudzan di antara keduanya) kepada Pendakwah. Bisa jadi uang, barang lain, atau apapun sesuai kemampuan. Intinya, diharapkan ada saling pengertian di antara kedua pihak agar tujuan luhur berdakwah tercapai.

No comments:

Post a Comment

ANY COMMENT?