April 08, 2011

Berubah? Lagi?


‘Sebenernya siapa sih yang harus berubah, gue atau dia ?” Belakangan, pertanyaan ini jadi buat gue mikir berkali-kali setelah Ito bilang yang persis sama. Dalam banyak kasus, gue sering dipaksa untuk berubah demi menyesuaikan diri dengan orang lain. Akibatnya, gue jadi terlihat labil, nggak punya karakter yang ‘gue banget’. Karakter gue dipaksa berubah jika gue mau ‘menghormati’ orang itu. Banyak orang yang bilang gue nggak usah berubah kalo emang gue rasa sikap gue itu benar. Tapi kenyataannya nggak bisa gitu juga kan. Egonya sangat mungkin malah balik nyerang gue dan tetep aja gue yang kalah. Pepatah berani karena benar kayanya udah nggak berlaku lagi dalam teori relationship. Ujung-ujungnya, gue lagi yang mesti ngalah. Sama egonya.
Baik-buruk, benar-salah, emang sangatlah subjektif. Maka, pertanyaan selanjutnya adalah: ‘sebenernya, siapa sih yang baik, siapa sih yang benar, gue atau dia?’


Mungkin pendekatannya bukan pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi kesadaran. Ya, kesadarannya aja sih siapa yang butuh siapa. Kaya di teori analisis transaksional yang dicetuskan Eric Berne dalam bukunya Games People Play. Inti dari teori itu adalah, setiap manusia membangun hubungan atas dasar untung-tidak untung. Selama ini masih merasa diuntungkan atau setidaknya tidak dirugikan dengan hubungan itu, maka hubungan itu akan berlanjut. Sebaliknya, jika ia merasa bahwa hubungan itu malah memberikan lebih banyak kerugian baginya, maka hubungan itu  haruslah segera diakhiri. Jadi, selama hubungan itu menguntungkannya, sebisa mungkin yang merasa diuntungkan akan menjaga hubungan itu. Simpel.
Yang gue rasakan dalam hubungan di mana pertanyaan-pertanyaan tadi itu seringkali mengganggu gue adalah, gue hanya mempertahankan hubungan hanya untuk menghormati orang itu. Gue nggak mengambil keuntungan apapun darinya. Bahkan kalau dihitung-hitung, gue rugi dalam hubungan itu. Tapi ada masyarakat yang seringkali mengadili setiap sikap kita (sebagai anggota masyarakat), karena mereka hanya melihat apa yang bisa mereka lihat lalu menggunjingkannya. Mereka mana mau sibuk-sibuk susah payah bertanya terlebih dahulu apa yang terjadi. Namun memang itu kenyataannya. Tugas kitalah yang menyesuaikan. Jika gue memutuskan hubungan pertemanan dengan orang lain karena pertanyaan-pertanyaan itu, gue akan diadili sebagai orang yang nggak bisa bergaul, nggak bisa mengerti orang lain, dan akibat langsungnya, gue akan dijauhi mereka. Tapi bagaimana dengan dia? Pernah nggak dia ingin menjauhi gue karena dianggapnya gue nggak menguntungkan?
Tanpa solusi, baiknya gue tetep mengikuti sifatnya. Gue yang harus berubah demi dia. Atas nama pandangan masyarakat, atas nama keterpaksaan. Hidup itu pahit. Sepahit getah pohon pepaya.

No comments:

Post a Comment

ANY COMMENT?