December 28, 2009

Menyusun Dongeng

Harapanku tadi siang adalah ia juga datang ke rumah seorang temanku untuk ikut berkabung atas bapaknya. Aku tau ia kenal, apalagi rumahnya sama sama di Jatiasih dan sekitarnya. Harusnya ia datang. Itu doaku tadi siang, dengan sedikit ketidakyakinan atau kepasrahan. Dan Mahasuci Allah, doaku dikabulkan !
Setelah ia datang, kami akan mengobrol banyak. Aku telah menatapnya dengan tatapan "hey, lo dateng juga :)". Itu tatapan ramah, artinya aku mau mengobrol banyak dengannya. Sialnya, ia melengos. Setiap ada kesempatan, aku coba mendekat. Kuhilangkan rasa lain-yang-kau-tau-lah. Yang coba kuciptakan adalah rasa ingin berteman dekat. Sungguh. Tapi entahlah, sepertinya ia memang tidak tertarik dengan subspesies sepertiku -___- Aku bukan orang agresif, maka aku tidak memaksa.
Lalu, dari sederetan kronologis dan semua tingkah lakunya, aku menghubung2kan semuanya. Gotcha ! Hasilnya adalah minus. Aku terlalu banyak bermain dalam imajiku sendiri. Terlalu lama. Tentunya dengan hologram sepertinya. Aku biarkan imajiku mereka-reka cerita, layaknya sinetron. Hingga aku tidak tahu mana yang disebut nyata. Kenangan 7 hari sebelum 16 ku itu bukanlah nyata. Sapaan yang hampir setiap pagi saat berpapasan yang dimulai dariku itu juga tidak nyata. Apalagi perasaannya padaku yang kukarang sedemikian rupa, sehingga jika aku menatapnya ia akan menatapku balik pun itu juga tidak nyata dan mendekati fana ! G-I-L-A
Jadi kemungkinan-kemungkinan terindah yang selama ini dapat terjadi antara aku dan dia sebenarnya tidak akan pernah terwujud. Dan sama sekali tidak akan pernah.
Aku juga tidak nyata. Apalagi ia. Ia adalah hologram buatanku paling sempurna diantara bentuk maya lainnya yang pernah tercipta. Juga tempat itu, waktu itu, obrolan itu, tawa itu, info itu, pujian itu, kekaguman itu, semuanya..
Sakit dan sedih itu pasti. Jika itu semua nyata, mungkin aku (dan kita) bisa mewujudkannya. Takkan sesedih ini.
Terdengar gila, aneh, dan seperti pengidap skizoprenia ? Atau imajinatif, ekspresif, dan seperti sutradara menuangkan mimpi2 ? Yang jelas, aku butuh psikolog.
Hidup adalah mimpi. Mimpi adalah imaji. Imaji adalah refleksi. Refleksi adalah impian. Jadi, hidup adalah impian. Aku memang telah menciptakan impian, tapi aku belum benar-benar hidup.
Sejauh ini, aku telah sangat berusaha mewujudkan impian itu melalui sedikit sinyal sinyal, doa, dan kepasrahan. Allah Swt juga sangat membantuku melalui pengabulan doa dan kesempatan2 yang terpercik. Mungkin usahaku kurang. Namun untuk orang sepertinya, susah untuk didekati dengan cara halus. Harus lebih kasar. Agresif. Sesuatu yang aku tak mau melakukannya. Dilematis. Jadi aku memilih mundur saja. Sudah kucoba mundur, imaji tetap tidak pudar.

*you must be don't know who is the boy i've been talking about. Maybe it is you. Check your availability, character, and circumstances. I hope it is not you. Bcs, you hope so, rite ?

Sorry for ruining you days to days. Thus, i love you.

No comments:

Post a Comment

ANY COMMENT?