April 13, 2012

Nah, siapa?

Dulu pernah ada yang tanya: kalau gue kasih boneka gede, lo mau nggak?
Tapi gue jawab: enggak. serem amat kalau ada di kosan ada boneka gede nangkring gitu. berasa ada manusia sebelum gue masuk
Lalu kita melewati toko boneka itu, gitu aja.

Kemudian gue berpikir, bahkan sampai sekarang. Kok gue segitu nggak maunya dikasih boneka?
Ketika cewek-cewek lain berpikir bahwa boneka, seperti coklat, bunga mawar, hingga puisi cinta, adalah sesuatu yang spesial, tapi gue nggak tertarik. Atau gue yang terlalu denial untuk bilang bahwa gue sebenarnya tertarik?

Kesemua barang yang dibilang spesial tadi, menurut gue hanya akan bertahan saat itu aja. Cuma sampai masanya selesai. Hanya ketika boneka sudah tidak lagi unyu dengan bulu-bulu yang mulai rontok atau kumal karena tidak berani dicuci, atau coklat yang hanya bertahan sampai masa expired tercapai, atau bunga mawar sampai layunya, atau puisi cinta yang terkesan mengiris ketika pemberinya pergi. Ada masa kadaluarsanya, ada akhirnya. Bahkan barang yang harusnya longlast, yang nggak punya akal maupun hati untuk berubah pikiran, bisa punya akhir. Mungkin juga malah berakhir lebih cepat daripada pemberinya.

Akan lebih tahan lama, lebih menyentuh, lebih bikin terharu, kalau ada yang mau mengajak duduk berhadapan lalu menyeruput kopi atau mengunyah donat gula atau menunggu pesanan hotdog, dan bercerita dari hati ke hati mengenai dirinya sendiri, hidupnya, dan secara gamblang menceritakan suka-dukanya menjadi dirinya. Cuma sama gue.
Saat-saat seperti itu mungkin adalah saat di mana dua hati terkoneksi. Sama kaya aliran atom pada dua batang besi yang telah terinduksi, ada sesuatu yang berpindah dari hati satu ke hati orang di depannya. Dengan cepat hatinya kosong karena ditransfer ke hati satunya, tapi juga dengan cepat terisi karena mendapat transfer dari hati yang tadi. Alhasil, hatinya tidak kosong, malah aktif berhubungan - telpon-telponan, chatting, tertawa.
Kemudian orang itu bangun dari tempat duduknya, mau pesen kopi lagi yang sudah sedari tadi habis, atau donat gula lagi, atau karena pesanan hotdognya sudah selesai dibuat tinggal diambil. Lihat jam, 2 jam sudah bercerita tanpa peduli mana titik akhirnya. Ketawa, sedih, empati, simpati, tanya, jawab. Cuma bahas tentang hidupnya dan hidup gue, dengan keingintahuan sebesar alam raya, dengan mata berbinar, mulut mengunyah lembut, telinga seksama mendengarkan.
Lelah duduk terlalu lama, kami berjalan. Sepanjang koridor, lorong, trotoar, atau jalan lengang. Masih bercerita, kali ini tentang keriuhan di sekitar. Mau itu cuma gosip artis ibukota bahkan teman sendiri, kesoktauan dari aktivitas yang dilakukan siapapun yang tidak jauh dari kami, atau iseng belaka mengomentari apapun. Sambil pegangan tangan, sesekali mengelus rambut dengan lembut, menyentuh kepala tanda sayang, atau menyentuh punggung tangan merapatkan genggaman. Rasanya nyaman, seperti tidak ada satu sesuatu pun yang bisa mengganggu kedamaian semacam ini. Bisa jadi, saking damainya, mau ada preman malak sekalipun, akan bisa melibas preman itu biar nggak jadi malak. Damai bikin jiwa dan raga makin kuat, otak makin bener.
Karena terlalu jauh berjalan, akhirnya menemukan bangku di pinggir taman, atau beton di pinggir kali, atau pagar rendah tanpa duri di halte busway. Lalu berdiskusi tentang masa depan Indonesia, implikasi penerapan karya ilmiah sebagai syarat lulus kuliah, pandangan terhadap agnotis dan atheis, bursa cagub-cawagub DKI Jakarta, organisasi yang bikin hectic tapi insightful, mungkin juga pengaruh Basel III dalam standardisasi manajemen finansial perbankan dunia. Diskusi panjang lebar begini bisa bikin akal menyatu juga. Berbagi ide, pandangan, brainstorming. Tanpa lelah, atau merasa terlalu serius. Diskusi begini yang bikin kami terlihat sexy.

----------

Yang begini ini bisa jadi life-talking partner. Sekaligus kakak, ayah kedua, saudara, imam... Seseorang yang berkedudukan lebih tinggi, namun bisa mensejajarkan diri agar telinga mau mendengar, atau merendah ketika gue perlu ditopang. Bukan apa-apa, tapi selama berkomitmen, seberapapun mudanya, pasti akan menuju tua dan akhir kehidupan, di mana pada masa itu akan banyak jenuh. Cuma orang itu yang bisa mengusir jenuhnya dengan cerita-cerita yang mengalirkan substansi hangat dari dan ke dua hati, memberi umpan bagi dua akal untuk aktif berbincang.

Yang seperti ini, akan jadi incaran semua perempuan, yang nggak peduli apakah pacarnya sebegitu kayanya ngasih coklat, bunga, boneka, atau segitu unyunya bikin puisi cinta. Tinggal berserah diri pada Tuhan, apakah orang itu akan sama dengan yang diinginkan?

Bukan, bukan menetapkan kriteria. Coba lihat kenyataannya. Akan sangat jarang orang-orang tua bercerai. Gue salah satu yang percaya bahwa orang tua gue ditakdirkan untuk saling menjadi orang seperti ini. Barangkali gue juga nanti. Amin.

No comments:

Post a Comment

ANY COMMENT?