May 17, 2012

Pria Terbaik


Pasti itu Papa.
Tadi sore Papa bela-belain ke bank untuk transfer uang bulanan gue yang benar-benar habis (dan gue mesti bilang sejujurnya karena hari itu dipaksa pulang padahal besok ke Depok lagi, walau pada akhirnya nggak jadi pulang karena udah malam). Kemarin siang Papa membatalkan tiket pesawatnya untuk jaga Thea yang lagi di rumah sakit. Malam di kemarin lusa, Papa bilang, “uang kuliah kamu 10x uang kuliah temen Papa. Mahal banget universitas kamu.” Setiap minggu, Papa selalu menyempatkan pulang dari Palembang atau Jambi di hari Jumat dan kembali lagi di hari Senin pagi buta. Setiap Sabtu, Papa selalu tanya, “Nisa mana? Pulang kapan?” atau setiap Minggu dengan tanya, “Kenapa cepet banget ke Depoknya? Di kampus ada apa aja sih? Paling main doang.”

Seseorang pernah mendengus dengan bilang: “Daddy’s girl” karena gue lebih memilih Papa mengantarkan gue ke pensi dibandingkan dia yang rela pulang demi memenuhi keinginan gue nonton pensi bareng. Walau akhirnya ketemu juga di Pensi. Saat itu gue memang ga punya pilihan lain selain bareng bokap karena itu Sabtu dan beliau ingin jalan-jalan.



Bokap sangat suka jalan-jalan. Selain karena itu memang hobinya dari dulu, sekarang malah makin seneng karena kantor Bokap yang di luar Jawa sana, di kontrakan sendirian, jauh dari keluarga, di daerah yang jauh dari keramaian, hiburan sedikit, dan nggak begitu menikmati pekerjaannya. Beberapa kali gue mengetahui bokap sebenernya nggak suka sama pekerjaannya kalau dipindah-pindah begitu dan beberapa masalah internal yang menghambat kariernya. Satu-satunya yang buat beliau bertahan adalah keluarga.

Keluarga merupakan prioritas nomor satu baginya, di atas pekerjaan dan dirinya sendiri. Apapun akan dia lakukan biar Mama, gue, dan adek gue seneng. Apapun. Makanya, beliau rela dipindah kerja yang jauh dari keluarga demi mendapatkan uang agar Mama bisa tercukupi keperluannya, gue bisa kuliah, dan adek gue bisa sekolah di tempat yang terbaik. Tentu ada pengorbanan yang nggak sedikit. Utamanya, tentang tanggung jawab Papa dan cinta.
Saat gue kecil, Papa selalu ada deket gue. Kalau gue butuh apa-apa, Papa selalu ada. Ngajarin PR, jemput ke sekolah, marahin ketika nggak disiplin, ngobrol banyak tentang apapun. Tapi adek gue nggak banyak merasakan kedekatan kaya gitu ketika beliau dipindah ke daerah dan hanya bisa pulang seminggu sekali (malah waktu awal dipindah, cuma 2 minggu sekali). Nggak ada beliau yang ngajarin PR, nggak ada beliau jemput ke sekolah di weekdays, bukan beliau yang marahin ketika nggak disiplin, dan beliau tidak jadi tempat cerita adek gue. Akibatnya, nilai adek gue naik-turun, sering nggak disiplin, sering bandel karena sosok nyokap dinilai belum setegas sosok bokap. Bahkan kadang adek gue tidak mempedulikan kehadiran bokap di Sabtu-Minggu itu, sebelum diberitahu baik-baik bahwa dia pun harus merelakan Sabtunya dipakai untuk keluarga, bukan temen-temennya. Sepertinya Papa juga ngerasa keterlibatan beliau kurang untuk menjaga adek gue. Beliau memberikan apapun yang adek gue minta sebagai ‘penebusan dosa’nya agar adek gue tetep seneng. Ini juga berakibat buruk pada adek gue yang pergaulannya semakin jetset. Gadget ganti-ganti, minta ini itu skala mahal. Manja. Nggak bisa ditentukan juga siapa yang salah, tapi mungkin cuma itu yang bisa dilakukan karena toh tujuannya untuk adek gue biar seneng.
Kedua, cinta. Banyaknya komunikasi sangat berpengaruh terhadap kedekatan cinta. Ketika komunikasi terbatas, pertemuanlah yang seharusnya menengahi. Papa berusaha seperti itu. Dengan pulangnya Papa seminggu sekali, itu juga cara paling efektif biar Papa bisa memberi dan merasakan cinta dari keluarganya. Gimana perasaan beliau jika salah satu anggota keluarganya, anak pertama dari cuma dua anaknya, malah ada di kota lain berjarak 100x lebih deket dibanding jarak beliau ke Bekasi?
Dari 5 hari kesepian di kontrakannya, dengan TV yang seringnya dibiarkan menyala biar ada suara, dengan kerjaan kantor yang tak kunjung selesai, dengan setengah hati, beliau bela-belain bolak-balik naik pesawat Palembang/Jambi-Cengkareng, cuma untuk bertemu keluarga selama 2 hari saja. Ditambah jika gue lagi ada acara kampus atau adek gue pengen jalan sama temen-temennya di hari Sabtu, atau nyokap ngelembur di kantor, maka praktis cuma 1 hari di Minggu aja. Sedangkan Minggu tidaklah efektif karena hanya jalan-jalan dari siang sampai sore untuk jaga stamina menghadapi Senin. Jalan-jalan pun hanya sekadar mencari sesuatu yang menghibur, entah ke bioskop, mal, makan bareng, belanja, atau bahkan ke pasar. Di tempat Papa di daerah sana, sepi itu sangat terasa, luar-dalam. Jadi, tau kan kenapa gue harus selalu bela-belain pulang di minimal 1 hari dalam weekend itu? Toh, prioritas gue tetep keluarga, tapi juga banyak hal terkait tanggung jawab yang nggak bisa ditinggalkan.

Saat Papa diwacanakan pindah, gue sebagai anak tertua yang dititipkan oleh beliau untuk menjaga Mama dan adek. Maka gue diharuskan bisa ngajarin adek gue, mengendarai motor, mobil, hingga jadi panutan untuk adek gue. Seenggaknya, saat nggak ada bokap, urusan rumah masih terkontrol; terutama terkait dengan adek gue. Sebagai anak tertua pula, bokap jadi seperti memaksa gue jadi sekuat cowok. Bokap sering menasehati gue tentang manajemen, mengarahkan gue untuk berpikir kritis, berdiskusi aktif. Bokap juga yang sering mengajarkan gue untuk nggak keras seperti dirinya, terutama untuk lebih baik darinya.

Termasuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi darinya. Bokap awalnya sangat ingin gue masuk ITB. Atau President University untuk menggeluti dunia bisnis dan keuangan seperti dirinya. Beliau awalnya nggak setuju gue di UI, ambil jurusan yang belum terbukti prospeknya sebaik apa. Akhirnya, beliau setuju karena toh yang akan menikmati adalah gue. Kuliah di UI yang mahal membuat gue berpikir berkali-kali untuk melanjutkan di sana atau ke PU yang saat itu gue udah jelas diterima di International Business. Tapi bokap selalu menegaskan: ‘apapun untuk kebaikan kamu, Papa rela keluar uang berapapun. Nggak usah pikirin, itu urusan Papa asal kamu bener.’ Termasuk tentang uang yang nggak tau seberapa keras bokap akan kerja untuk dapat uang lebih dari 20juta per tahun untuk gue aja.

Dari semua pengorbanan bokap cuma untuk gue seneng aja, gue sempet membayangkan bagaimana jika gue meninggal nanti saat beliau masih hidup. Nggak lama ini, gue lihat bagaimana terpukulnya bokap teman gue saat menguburkan teman gue. Mukanya sangat kecewa, entah sama siapa. Sangat sedih, entah harus dilampiaskan kemana. Kata temen gue yang saat itu juga melayat: orang tua akan sangat terpukul kalau lihat anaknya meninggal. Sebagai orangtua, ia merasa gagal karena tidak bisa mempertahankan anaknya untuk melanjutkan regenerasi keluarganya. Dan akan selalu ada cita-cita orang tua yang ditanamkan pada anaknya. Cita-cita itu hilang, maka jadilah kecewa. Dan ada cinta yang hilang, karena cinta itu sudah ditanam bahkan ketika objek cintanya belum secara nyata ke dunia.
Cinta yang hilang, pasti tau bagaimana kehilangannya.

Semoga sebelum gue dipanggil nanti, gue udah kasih cinta terbesar gue untuk mereka; meluangkan waktu sebanyak yang gue bisa, memprioritaskan keluarga menjadi yang pertama di atas segalanya, menjadikan keluarga sebagai sumber serta objek cinta terbesar. Semoga gue udah memenuhi cita-cita mereka, apapun cita-citanya, semoga sudah bisa menghasilkan regenerasi untuk mereka, semoga bisa membuat nama mereka harum. Semoga saat gue dipanggil nanti, orang tua gue nggak akan menangis kecewa, agar ikhlas mengiringi perjalanan gue. Semoga saat gue dipanggil nanti, orang tua sudah bangga sama gue, terutama sama diri mereka sendiri sebagai orang tua.

Papa, Mama, maaf kalau aku jarang ada di rumah. Aku lagi berusaha mengatur waktu. Bukan, bukan tidak memprioritaskan, sama sekali bukan. Bukan, bukan karena malu dicap seperti itu. Aku bangga menjadi ‘Daddy’s Girl’, aku ingin juga jadi ‘Mommy’s Partner’ dan family man seperti Papa. Maaf jika mencari aku terus. Aku akan pulang, Pa, Ma…

Terima kasih untuk cintanya yang absolut.

No comments:

Post a Comment

ANY COMMENT?